Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI SEMARANG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pihak Pihak Status Perkara
10/Pid.Pra/2021/PN Smg SABDO PRAMUDYO KEPALA KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA Cq. KEPALA KEPOLISIAN DAERAH JAWA TENGAH Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 06 Sep. 2021
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 10/Pid.Pra/2021/PN Smg
Tanggal Surat Senin, 06 Sep. 2021
Nomor Surat ---
Pihak
Pihak
Pihak
Petitum Permohonan

I.DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

  1.    Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
  2.    Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka (10) menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

  •  
    1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
    2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
    3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
  1.    Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  •  
    1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
    2. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
  1.    Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
  2.    Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
  •  
    1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
    2. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
    3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
    4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
    5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
    6. Dan lain sebagainya
  1.    Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

   Mengadili,

Menyatakan :

  1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
    • [dst]
    • [dst]
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

 

 

II. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

  1. PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA
  1. Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusimenyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
  2. Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
  3. “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
  4. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
  5. Bahwa Pemohon menilai dalam menangani perkara yang dilakukan oleh Termohon berdasarkan LP/B/551/XII/2017/Jateng/Ditreskrimum, tanggal 20 Desember 2017 terkait dugaan adanya tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP, telah terjadi pelanggaran dan atau penyimpangan serta terlalu dipaksakan untuk ditingkatkan ketahap penyidikan, adapun temuan tersebut, berupa:
  1. Bahwa Laporan Polisi  tentang adanya dugaan tindak pidana penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP dengan Nomor. LP/B/551/XII/2017Jateng/Ditreskrimum dibuat pada tanggal 2017 oleh Pelapor Sdri. Diyah May Himarwati, S.Pd, jika dihubungkan dengan bukti-bukti permulaan yang ada seluruh bukti yang diajukan oleh Pelapor adalah merupakan milik Sdr. Setiaji, yang berkaitan dengan perjanjian pembelian kavling tanah/bangunan, yang merupakan ranah hukum keperdataan.
  2. Bahwa berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/B/551/XII/2017/Jateng/Ditreskrimum tanggal 20 Desember 2017, selanjutnya Termohon membuat undangan klarifikasi dengan Nomor: B/4/1/2018/Ditreskrimum tanggal 19 Januari 2018, yang isinya sehubungan hal tersebut guna penyelidikan Pemohon diminta untuk memberikan keterangan/klarifikasi, dimana dalam undangan tersebut tidak menyebutkan kedudukan Pemohon dipanggil oleh Termohon apakah sebagai Saksi ataupun Terlapor.
  3. Bahwa untuk menghormati proses hukum pada akhirnya Pemohon menghadap Termohon untuk menjelaskan duduk permasalahan terkait pelaporan tentang adanya dugaan tindak pidana penipuan berdasarkan surat undangan klarifikasi tersebut. Pemohon menjelaskan bahwa pemasalahan ini adalah murni hubungan keperdataan, Pemohon telah membawa bukti-bukti sanggahan berupa:
  1. Adanya dokumen kepemilikan yang sah terkait perijinan perumahan: Sertipikat HM No. 08117 an. Ramat seluas 8.272 m2 terletak diwilayah Kel. Sendangmulyo, Kec. Tembalang Kota Semarang, dimana diatas tersebut adalah lokasi pembangunan perumahan Star Hills Ketileng yang Pemohon Kerjakan.
  2. Dokumen ijin prinsip berupa: Keterangan Rencana Kota (KRK) Nomor: 591/374/XI/2007 tanggal 28 Desember 2007 yang dikeluarkan oleh Dinas Tata Kota dan Pemukiman Kota Semarang.
  3. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) Nomor: 648.1/2504/2008 tanggal 19 Maret 2009 yang dikeluarkan oleh Walikota Semarang.
  4. Pemecahan Sertipikat sebanyak 61 (enam puluh satu) buah atas nama Ramat.
  1. Bahwa setelah memberikan klarifikasi tersebut Pemohon tidak pernah lagi dipanggil oleh Termohon, namun pada tanggal 01 Desember 2020 tiba-tiba status Pemohon ditingkatkan sebagai Tersangka, padahal sebelumnya Pemohon tidak pernah diperiksa sebagai calon Tersangka, baik sebagai saksi maupun Terlapor.
  2. Bahwa dalam Berita Acara Pemeriksaan Tambahan Tersangka tanggal 24 Febuari 2021, point 58:

“Dapat dijelaskan bahwa awal saya membeli luas 700 m2 terbagi dalam 5 (lima) bidang tanah milik sdr. Ramat, selanjutnya saya diberi kepercayaan oleh Sdr. Ramat untuk mengelola semua tanah miliknya sertipikat HM No. 08117 an. Ramat luas 8.272 m2 yang mana saya diserahi catatan sertipikat dan ijin prinsip yang kemudian saya bangun untuk perumahan Star Hills Ketileng. Memang benar lokasi berdirinya Unit Rumah Kav. 50 luas tanah 112 m2 perumahan Star Hills Ketileng yang dibeli Sdr. Setiaji tersebut tidak berdiri di atas tanah milik saya yang telah dibeli dari Sdr. Ramat luas 700 m2, namun berada di atas tanah satu lokasi yang sertipikat masih milik Sdr. Ramat yang diserahkan dan dipercayakan kepada saya untuk dikelola atau dijual.

 

  1. Bahwa sangatlah aneh, bisa-bisanya Pelapor atas nama Diyah May Himarwati S.Pd membuat Laporan Polisi: LP/B/551/XII/2017/Jateng/Ditreskrimum tanggal 20 Desember 2017 diterima oleh Termohon dengan tidak memeriksa / mempertimbangkan bukti-bukti permulaan yang diajukan oleh Pelapor, dimana bukti-bukti dimaksud adalah berupa surat perjanjian jual beli kavling/bangunan beserta surat pembatalan pembelian yang dilakukan Sdr. Setiaji, yang mana apabila perjanjian dimulai dengan itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata,kemudian perikatan jual belitersebut dikemudian hari terjadi (overmacht/force majure) / keadaan memaksa tersebut timbul diluar kemampuan Pemohon, maka menurut undang-undang Pemohon tidak dapat dipersalahkan,selain itu perjanjian jual beli yang dilakukan antara Pelapor dan Pemohon murni merupakan ranah hukum keperdataan.
  2. Bahwa penetapan Pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah dan cacat hukum dikarenakan hubungan antara Pemohon dan Sdr. Setiaji adalah hubungan perdata yaitu jual beli (bukan pidana): “ Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 39 K / Pid / 1984 tertanggal 13 September 1984, mempunyai kaedah hukum: Hubungan hukum antara Terdakwa dengan saksi merupakan hubungan perdata yaitu hubungan jual beli, sehingga tidak dapat ditafsirkan sebagai perbuatan tindak pidana penipuan, sengketa perdata tidak dapat dipidanakan”.
  3. Bahwa hal-hal dalam point -point tersebut di atas yang menjadikan dasar keberatan Pemohon dalam hal Penyidik Subdit I/KAMNEG Ditreskrimum Polda Jateng menetapkan Pemohon sdr. SABDO PRAMUDYO Bin H. SUWANDI (Alm) sebagai Tersangka. Karena melanggar ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Repbulik Indonesia Nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
  4. BahwaPemohon meragukan telah terpenuhinya bukti permulaan yang cukup, yaitu 2 (dua) alat bukti apa yang menyakinkan penyidik secara objektif (dapat diuji objektivitasnya) sebagaimana Putusan MK Nomor 21/PUUXII/2014 yang menyatakan Pemohondapat ditingkatkan statusnya sebagai Tersangka. Bahwa dalam keterangan Pemeriksaan Tersangka penyidik memeriksa hanya didasarkan pada alat bukti suratsaja. Hal tersebut tentunya melanggar Hak Asasi Manusia.
  5. Bahwa terkait ketidakjelasan proses pelaksanaan gelar perkara yang dilakukan. Kami Pemohon maupun Kuasa Hukum Pemohon tidak dilibatkan dalam pelaksanaan gelar perkara. Padahal  dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan aturan teknisnya dalam petunjuk pelaksanaan No.Pol. Juklak/5/IV/1984/ditserse, tanggal 1 April 1984 tentang pelaksanaan gelar perkara serta dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri dijelaskan bahwa secara formal gelar perkara dilakukan dengan menghadirkan pelapor dan terlapor, jika hal ini tidak dilakukan, maka hasil gelar perkara CACAT HUKUM.
  6. Bahwa akibat dari dipaksakannya prosedur penanganan perkara ini oleh Termohon, maka Pemohon saat ini telah ditetapkan sebagai Tersangka sejak tanggal 01 Desember 2020 dalam perkara tindak pidana “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun” yang diatur dalam Pasal 378 KUHP. Hal tersebut sangat merugikan Pemohon, karena Termohon sangat subjektif dalam menangani perkara yang seharusnya perkara Wanprestasi dipaksakan menjadi suatu perkara dugaan tindak pidana Penipuan.
  7. Bahwa dalam proses penanganan kasus ini Pemohon menilai penyidik bekerja tidak professional dan terkesan memihak kepada Pelapor dengan tidak mempertimbangkan bukti-bukti sanggahan yang diajukan oleh pihak Pemohon, sehingga mengabaikan/melanggar prinsip praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence).
  8. Untuk itu berdasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai klarifikasi/pemeriksaan calon tersangkanyaTidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata(Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Subdit I/KAMNEG Ditreskrimum Polda Jateng.

Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa klarifikasi /pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.

  1. TIDAK ADA “MENS REA” ATAU TERPENUHINYA UNSUR  DALAM PASAL 378 KUHP TERHADAP PERBUATAN PEMOHON
  2. erdasarkanPasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”):

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang ataupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”

 

Mengutip Jurnal Pengaturan dan Praktik Penerapan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan oleh Kevin Julio Tamboto (2018:66) Pasal 378 KUHP memuat beberapa unsur, yaitu :

  • Barang siapa
  • Dengan maksud
  • Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum
  • Dengan penggunaan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan
  • Menggerakkan atau membujuk orang lain untuk menyerahkan barang, memberi utang atau menghapus piutang.

Dengan kata lain, Pasal 378 KUHP menjabarkan definisi penipuan sebagai tindakan yang dilakukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan jalan melawan hukum. Bahwa telah jelas pembelian tanah kavling/bangunan yang dilakukan oleh Sdr. Setiaji dengan Pemohon didahului dengan adanya Surat Perjanjian Kesepakatan Jual Beli Nomor: 04/50/SUKMA SKJB/27062016 tanggal 27 Juni 2016.

Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI No. 325 K / Pid / 1985 tertanggal 8 Oktober 1986, mempunyai kaedah hukum,” Hubungan hukum antara Terdakwa dengan saksi merupakan hubungan perdata yaitu hubungan jual beli, sehingga tidak dapat ditafsirkan sebagai perbuatan tindak pidana penipuan, sengketa perdata tidak dapat dipidanakan.

“Bahwa penetapan tersangka kepada Pemohon adalah tidak sah dan cacat hukum dikarenakan hubungan antara Pemohon dengan Sdr. Setiaji adalah hubungan perdata jual beli (bukan pidana), selain itu fakta hukum jelas Pemohon (SABDO PRAMUDYO) jelas ada orangnya, objek tanahnya riil atau tidak fiktif, bukti alas haknya juga ada, sehingga dalam hal ini tidak terdapat unsur penipuan”.

 

Mengulas perbedaan Wanprestasi dan Penipuan, jika kontrak yang sudah dibuat dengan itikad baik, maka pelanggaran Pasal 1321 sampai 1328 KUHPerdata harus diselesaikan secara gugatan perdata, bukan pidana. Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yoni Agus Setyono mengatakan: yurisprudensi dalam kasus seperti ini seharusnya menjadi panduan mengikat dalam perkara serupa.”Hakim harus mengikutinya demi kepastian hukum. Artinya, putusannya bukan bebas dari jerat hukum, tapi lepas dari tuntutan hukum pidana (ontslag van alle rechtvervoolging) untuk diselesaikan dengan gugatan perdata”.

“Pengaturan soal sengketa dalam kontrak perdata sudah diatur dalam Pasal 1321 sampai dengan 1328 KUHPerdata, sedangkan penipuan dalam perjanjian diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata. “Jika ada kontrak yang sudah dibuat dengan itikad baik, maka pelanggaran terkait Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328 KUHPerdata harus diselesaikan secara perdata, bukan pidana”.

 

Perlu diingat, kontrak adalah konsep perjanjian yang diatur KUHPerdata terutama dalam Pasal 1320 dan Pasal 1321 KUHPerdata. Praktik yang terjadi ternyata kerap menimbulkan masalah hukum kapan seseorang yang tidak memenuhi perjanjian dikatakan wanprestasi atau justru sudah melakukan tindak pidana penipuan. Karena itu, pendapat Mahkamah Agung yang dituangkan menjadi Yurisprudensi, sejauh ini yurisprudensi di Indonesia menjadi instrument hukum pelengkap yang dibentuk pengadilan untuk mengisi kekosongan hukum dan menjaga kepastian hukum. Untuk diketahui dalam yurisprudensi putusan MA No. 4/Yur/Pid/2018, Majelis MA menyatakan pengadilan telah konsisten menegaskan batas wanprestasi sebagai urusan perdata atas kontrak dengan penipuan sebagai masalah pidana. Seseorang yang tidak memenuhi kewajiban dalam kontrak dinyatakan lepas dari tuntutan pidana penipuan dengan dua syarat. Pertama kontrak dibuat secara sah, kedua, Kontrak dibuat tanpa ada itikad buruk.

Dalam yurisprudensinya MA mengutip Putusan No. 1601 K/Pid/1990 sebagai salah satu rujukan paling awal untuk perkara serupa sebelum yurisprudensi ini terbentuk. Putusan pidana di tingkat kasasi itu menyatakan:”Apabila perbuatan yang mengakibatkan gagalnya perjanjian terjadi setelah perjanjian dilahirkan, maka akibat hukum yang timbul adalah wanprestasi yang merupakan ranah hukum perdata”, tapi tidak ada uraian soal syarat adanya itikad buruk untuk menjerat dengan sanksi pidana (penipuan). Selain itu, Putusan MA Nomor 1689 K/Pid/2015 sebagai sumber pembentuk yurisprudensi nomor katalog 4/Yur/Pid/2018 ini. Tercatat ada lebih dari sepuluh putusan yang diakui MA telah mengikuti sumber hukum yurisprudensi tersebut sebagai salah satu yurisprudensi tetap MA.

Pihak Dipublikasikan Ya