Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI SEMARANG
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pihak Pihak Status Perkara
1/Pid.Pra/2019/PN Smg SUAHRTONO DITRESKRIMUM POLDA JAWA TENGAH Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 28 Jan. 2019
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2019/PN Smg
Tanggal Surat Senin, 28 Jan. 2019
Nomor Surat ......................................
Pihak
Pihak
Pihak
Petitum Permohonan
 
 
Kepada Yth.
KETUA PENGADILAN NEGERI SEMARANG
Di 
SEMARANG
 
Hal    : Permohonan Gugatan Praperadilan
 
Dengan Hormat,
Perkenankanlah kami :
R. Aditya Wicaksono, SH., R. Mahendra Dewanto S, SH. kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada “PUTRA SURYA LAW OFFICE” Advocate & Legal Consultant yang beralamat di Perumahan Tom Bima No.5 Tamanan Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Telp. 087722016008, Email : adit234sc@gmail.com
 
Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 21 Januari 2019, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama Suhartono, selanjutnya disebut sebagai…………………………………………………………………………………………………………PEMOHON.
 
-----------------------------------------------M E L A W A N--------------------------------------------------
 
DITRESKRIMUM POLDA JAWA TENGAH yang beralamat di Jl. Pahlawan No.1 Semarang, Jawa  Tengah selanjutnya disebut sebagai TERMOHON.
Untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai Tersangka dalam dugaan Pemalsuan Dokumen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana olehPenyidik Subdit II/Harda Bangtah Ditreskrimum Polda Jateng.
 
Adapun yang menjadi alasan permohonan Pemohon adalah sebagai berikut :
 
I. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
a. Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan Hak Asasi Manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) Praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, Praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
b. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
c. Bahwa selain itu yang menjadi objek Praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
 
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
d. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan Praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
e. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan Pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut:
Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
 
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 November 2012
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
Dan lain sebagainya
f. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga Praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
[dst]
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
g. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
 
 
II. ALASAN PERMOHONAN GUGATAN PRAPERADILAN
1. PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA
Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek Praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
“Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka. Berdasar pada Surat Panggilan untuk pertama kali dan satu-satunya oleh Termohon, yakni melalui surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor SPGL/1727/IX/2015/Ditreskrimum tertanggal 17 September 2015 tidak pernah membuktikan Pemohon diperiksa sebagai calon tersangka, akan tetapi Pemohon langsung dipanggil sebagai Tersangka oleh Termohon, sehingga tidak dengan seimbang Pemohon dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang dituduhkan kepada Pemohon. Pemohon hanya diperiksa untuk pertama 
 
kali oleh Termohon pada pada saat setelah ditetapkan sebagai Tersangka yakni pada tanggal 21 September 2015.
Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jawa Tengah.
Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo.
2. TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON
Bahwa sebagaimana diakui baik oleh Pemohon maupun Termohon, bahwa penetapan tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon berdasarkan surat panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon dengan Nomor SPGL/28/I/2019/Ditreskrimum tertanggal 10 Januari 2019. Bahwa apabila mengacu kepada surat panggilan tersebut, tidak pernah ada surat perintah penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.
Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan ( hal.101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.
 
Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.
Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpat surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.
3. PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA, AKAN TETAPI TERUS-MENERUS DILAKUKAN PENYIDIKAN
Bahwa Pemohon di panggil sebagai Tersangka pada tanggal 16 Januari 2019, dan tanpa adanya penetapan sebagai Tersangka.
Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik, dimana dalam proses penyidikan tidak di beritahukan hasil dan gelar perkara kepada Pemohon ataupun Kuasa Hukumnya. 
4. TERMOHON MENGABAIKAN KETERANGAN SAKSI-SAKIS DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA
Bahwa Termohon dalam menetapkan tersangka dalam dugaan Pemalsuan Surat tidak mempertimbangan dan mempertikan keterangan saksi dari Pihak Leasing yang sudah menyatakan bahwa Leasinglah yang melakukan Pemalsuan Surat tersebut agar memudahkan proses Kredit ( Ketengan Saksi Zaenal).
 
 
5.PERBUATAN PEMOHON MURNI MERUPAKAN HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN
Bahwa hubungan hukum anatara Pemohon dan Pelapor dalam hal perkara ini adalah murni Keperdataan di mana hubungan hukum terjadi dalam suatu perusahan di mana Pelapor sebagai Komisaris dan Pemohon sebagai Direktur Utama akan tetapi terkesan di paksakan masuk Ranah Pidana di mana unsur-unsur dari pidana tidak dapat di buktikan karena tidak adanya kerugian yang di timbulkan oleh Pemohon.
Untuk itu hubungan hukum antara kedua belah pihak merupakan hubungan hukum yang bersifat Keperdataan.
6. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
Tentang Duduk Perkara :
Dugaan pemalsuan tanda tangan pasal 263 KUHP
Konstruksi Perkara
Adanya pembelian satu unit mobil untuk perusahaan secara kredit melalui leasing
Perjanjian kredit di tanda tangani oleh Dirut dan Komisaris
Penandatangan pada perjanjian kredit di lakukan oleh sales dengan sepengetahuan Dirut dan Komisaris 
Selanjutnya setelah Komisaris keluar dari perusahaan Komisaris mempermasalahkan penandatangan perjanjian kredit tersebut
Mantan Komisaris melaporkan Dirut dengan sangkaan Tindak Pidana Pemalsuan
Analisis Kasus
Bahwa benar, perusahaan telah melakukan pembelian kedaraan melalui leasing secara kredit
Bahwa benar penandatangan pada perjanjian kredit di lakukan oleh sales atas sepengetahuan dan persetujuan Dirut dan Komisaris
Bahwa benar kendaraan termasuk inventaris Perusahaan
Analisis Yuridis
Pasal 263 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
Ayat 1 Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti 
 
Dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun.
BARANG SIAPA….???
Membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan suatau hak,suatu perjanjian(kewajiban)
Bahwa tanda tangan Dirut dan Komisaris pada perjanjian kredit di lakukan oleh sales dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan,maka kalau mempergunakan menimbulkan kerugian
Bahwa dalam hal ini pihak Dirut dan Komisaris telah menyetujui dan mengetahui bahwa tanda tangannya di palsukan oleh Sales
Bahwa selanjutnya Sales mengeprov/menyetujui perjanjian tersebut hingga perusahaan mendapatkan mobil
Kesimpulan
1. Dalam perkara ini tidak ada kerugian yang di timbulkan
2. Pembayaran kendaraan mengunakan uang perusahaan
3. Penandatanganan sepengetahuan seluruh pihak (Seles,Dirut,Komisaris)
4. Hak dan Kewajiban terpenuhi (pembayaran yang di lakukan perusahaan terhadap Leasing)
5. Adapun permasalahan secara Formil sebagai Tersangka :
a).Sales (Pembuat Surat Palsu/Tanda Tangan)
b).Dirut dan Mantan Komisaris (Menggunakan/Menyuruh Orang lain Menggunakan)
6. Bahwa dalam perkara ini sangatlah terkesan di paksakan dan sangat tidak masuk akal di mana perkara ini sudah berjalan dari tahun 2015 sampai dengan 2019 kurang lebih 4 ( empat ) tahun perkara ini berjalan kenapa tiba-tiba klien kami di tetapkan sebagai Tersangka atas dasar apakah dan bagaimana dengan kepastian hukum jika perkara berlarut-larut tiba-tiba di tetapkan Tersangka.
7. Bahwa atas uraian kami di atas kami memohon Keadilan dan Kepastian Hukum terhadap klien kami.
 
 
Demikian Gugatan Praperadilan ini kami sampaikan atas terkabulnya pengaduan ini kami ucapkan terima kasih.
III. PETITUM
Berdasar pada argument dan fakta-fakta Yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang Jawa Tengah yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
1. Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dengan dugaan Pemalsuan dokumen membuat surat palsu atau memalsukan surat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Polda Jawa Tengah Direktorat Reserse Kriminal Umum adalah Tidak Sah dan Tidak Berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka A Quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan Tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
Menghentikan perkara tersebut diatas dan mengeluarkan SP3 ( Surat Perintah Penghentian Perkara ).
2. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
3. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
PEMOHON sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang Jawa Tengah  yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara A Quo  dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
 
 
 
Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Semarang Jawa Tengah yang memeriksa Permohonan A Quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
 
 
Yogyakarta, 25 Januari 2019
Hormat kami,
Advokat / Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum pada kantor hukum
 
PUTRA SURYA LAW OFFICE
 
 
R. Aditya Wicaksono, S.H
 
 
R. Mahendra Dewanto S, S.H
Pihak Dipublikasikan Ya